Masjid Istiqlal. Menyebut namanya saja terasa sejuk. Apalagi jika
Anda mengunjungi dan shalat di sana. Sebuah komplek masjid yang berdiri
di atas lahan 12 hektare. Bangunan masjidnya sendiri seluas 7 hektare,
dengan luas lantai 72.000 meter persegi, dan luas atap 21.000 meter
persegi. Tidak salah jika dikatakan bahwa Istiqlal adalah masjid
terbesar di Asia Tenggara.
Tidak salah pula jika Masjid Istiqlal kita sebut sebagai icon
negeri ini, tak ubahnya Tugu Monas dan Jembatan Semanggi. Yang membuat
Istiqlal begitu spesial, itu karena sejak digagas, direncanakan, hingga
dibangun, Istiqlal begitu sarat makna dan simbol.
Di antara sekian pemilik jasa atas kokoh-berdirinya Istiqlal,
mustahil kita tidak menempatkan Sukarno pada posisi atas. Bukan saja
karena dia Presiden yang memutuskan menyetujui pendirian Istiqlal, lebih
dari itu, ia juga melandaskan pembangunan Istiqlal secara sangat
filosofis, dan sangat teknis. Karena itu pula, masjid ini begitu
monumental.
Dalam pemilihan lokasi, misalnya, Bung Karno terpaksa harus berbeda
pendapat dengan Hatta. Bung Karno menghendaki, Istiqlal didirikan di
atas taman Wilhelmina di lokasi bekas benteng Belanda Frederick Hendrik
yang dibangun Gubernur
Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834. Lokasi itu tepatnya terletak di
antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan
Veteran.
Bung Hatta
mengusulkan lokasi pembangunan masjid di Jalan Thamrin. Alasan Hatta,
karena lokasi itu dikelilingi kampung. Tidak seperti lokasi taman
Wilhelmina yang relatif jauh dari permukiman. Selain itu Hatta juga
menganggap pembongkaran benteng Belanda memerlukan waktu yang tidak
sebentar, dan dana yang tidak sedikit.
Bung Karno keukeuh
pada pilihannya. Ia melandaskan pada filosofi makna “merdeka”. Istiqlal
yang bisa diartikan kebebasan, atau kemerdekaan, sangat tepat jika
didirikan di atas taman Wilhelmina. Sebab, Ratu Belanda Wilhelmina
sebagai representasi penjajahan di bumi Indonesia, menurut Bung Karno,
harus dihancurkan, dimusnahkan, dan diganti masjid bernama “kebebasan”,
Istiqlal. Simbol dan pemaknaan ini yang membuat siapa pun akhirnya
menyetujui sikap dan pilihan Bung Karno.
Tidak hanya itu.
Lokasi yang terletak di seberang Lapangan Banteng itu, dipilih karena
berdekatan dengan Gereja Kathedral. “Istiqlal di satu sisi, Kathedral di
sisi lain, berdiri kokoh dan megah dengan harmonis, adalah perlambang
harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia,” begitu kurang lebih Bung
Karno memaknai lokasi Masjid Istiqlal.
Makna terakhir,
menjadi sangat-sangat dalam, manakala Frederich Silaban, seorang arsitek
Kristen kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara keluar sebagai pemenang
sayembara arsitektur masjid Istiqlal, yang dewan jurinya diketuai
Presiden Sukarno. Adapun anggota dewan juri lain adalah Prof.Ir. Rooseno, Ir.H. Djuanda, Prof.Ir. Suwardi, Hamka, H. Abubakar Aceh, dan Oemar Husein Amin.
Masjid lima lantai,
yang melambangkan kewajiban shalat umat Islam lima kali dalam satu
hari, akhirnya dimulai pengerjaannya. Namun secara urutan tahun, gagasan
pendirian masjid akbar di Ibukota Republik Indonesia itu mencuat tahun
1953. Setahun kemudian, 1954 didirikan Yayasan Masjid Istiqlal yang
diketuai Tjokroaminoto. Tahun 1955 dilangsungkan sayembara rancang
bangun atau arsitektur masjid berhadiah utama uang tunai Rp 75.000 dan
emas murni 75 gram, dan diikuti 27 peserta.
Setelah melalui pendalaman desain serta persiapan matang, tepat 24 Agustus 1961, bertepatan
peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, Presiden Ir. Soekarno yang
langsung bertindak sebagai Kepala Bidang Teknik, berkenan melakukan
upacara pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Istiqlal.
Sebagai “tukang
insinyur”, kita harus tahu bahwa Bung Karno ternyata memiliki suatu
obsesi tersendiri terkait kekokohan bangunan masjid. Bung Karno sendiri
yang melakukan pengawasan teknis pembangunan masjid sejak fase
pembangunan pondasi. Kepada sejumlah orang dekat, bukan sekali-dua Bung
Karno mengatakan ambisinya untuk membangun masjid yang kokoh.
“Jika Candi
Borobudur yang dibangun leluhur kita untuk mengagungkan Budha bisa tahan
ratusan tahun, maka saya ingin Masjid Istiqlal tidak hanya tahan
ratusan tahun, tetapi ribuan tahun!” begitu tekad Bung Karno, seraya
melanjutkan, “agar kelak anak-cucu kita paham, bahwa Presiden Indonesia
yang pertama sangat mencintai Islam.”
Suatu ketika, Bung Karno pun membangun Tugu Monumen Nasional (Monas), sebagai icon Indonesia
yang lain. Proyek itu, tak urung mengundang pertanyaan orang, termasuk
orang-orang dekatnya. Satu di antara mereka ada yang bertanya kepada
Bung Karno, tentang skala prioritas pembangunan Monas dan Istiqlal. Apa
kata Bung Karno, “Prioritaskan pembangunan Tugu Monas!”
Jawaban itu cukup
mengejutkan. Hingga akhirnya ia melanjutkan kalimat, “Mengapa harus
Monas yang diprioritaskan? Jika saya mati saat Monas dan Istiqlal
dibangun, maka bisa saya pastikan, Istiqlal PASTI selesai. Sebab,
membangun masjid adalah membangun rumah Tuhan, sehingga sekalipun saya
mati ketika masjid itu belum selesai, tak satu pun yang bisa
menghentikan pembangunannya. Tapi tidak demikian halnya dengan Monas.
Jika saya mati, belum tentu pengganti saya meneruskan pembangunannya.”
Seperti fatwa
pujangga sakti, Sukarno seperti meramal nasibnya sendiri. Pembangunan
masjid Istiqlal melambat tahun 1960. Setelah itu, masih banyak proyek
mercu suar dibangun, hingga klimaksnya terjadi peristiwa G-30-S. Masjid
yang direncanakn memakan waktu pembangunan selama 45 tahun dalam
pelaksanaannya jauh lebih cepat. Bangunan utama selesai 6 tahun sejak
dipancangkan tiang pertama, tepatnya 31 Agustus 1967 ditandai dengan
berkumandangnya adzan maghrib yang pertama.
Saat itu, Sukarno sudah tidak lagi berkuasa. Sukarno benar, pembangunan masjid tidak jalan terus. Secara
keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal selesai dibangun dalam kurun 17
tahun. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 22 Februari 1978, oleh
Presiden Soeharto. Sementara Bung Karno, seperti takdir yang telah
tertulis, sudah wafat pada 21 Juni 1970.